Akhir-akhir
ini gw benar-benar capek. Padahal, gw tidak melakukan apa-apa. Tak ada tugas
kuliah, tugas rumah, tugas organisasi, bahkan tugas pribadi yang biasa
kuplaningkan sendiri untuk diri sendiri. Semuanya libur total. Tapi aku
benar-benar capek. Anda bisa membantu?
Apa
mungkin karena sesuatu yang tak terlihat ini? Sesuatu yang tak bisa disentuh
apalagi dipegang dengan panca indra ini? Sesuatu yang membuat diriku sang
kritikus dan logis jadi kehilangan pertimbangan? Aku yang dikenal selalu
lincah, cepat, dan tepat dalam setiap memutuskan dan menyelesaikan masalah
menjadi kehilangan arah?
Atau
jangan-jangan waktu itu telah datang? Waktu yang setiap kaki berjiwa di bumi
ini pasti merasakannya? Tiba-tiba aku gemetar. Ada takut ada senang. Tapi aku
masih ragu. Sehingga kucoba menuntutkan kembali peristiwa-peristiwa sebelum
sesuatu ini menyerangku. Kuingat-ingat lagi setiap peristiwa, kurekam
benar-benar lalu kupotret dan kupikirkan lagi. Tidak ada!. Tidak kutemukan!.
Apa
mungkin ada yang terlewat?. Kuulangi lagi proses demi proses seakan aku sedang
mengalami masalah dan kini sedang mencari latar belakangnya mengharap menemukan
problem solving. Nihil! Bagaimana kutemukan problem solving, menemukan yang
kucari saja tidak!.
Akh,,
apa sesuatu yang merasukiku ini begitu misterius hingga sangat sulit diteliti
dengan sikap ilmiah. Apakah yang sedang merasukiku ini memang benar-benar di
luar logika, hingga otakku meronta-ronta saat kupaksa berpikir lagi dan
berpikir lagi. Aku sangat capek dan nyaris putus asa. Kulemparkan badanku ke
ranjang dan menutup kepala dengan bantal. Mencoba menenggelamkan diri sebentar
pada kesunyian. Tidak bisa!. Sesuatu ini benar-benar serupa hantu membuatku tak
bisa tenang.
Beranjak
dari ranjang dan melemparkan bantal. Kubuka Google dan search engine yang lain.
Kuketik beberapa kata kunci di kotak berbentuk balok yang ada pada sudut atas
laman. Mataku jeli mencari-cari kata yang mulai kusangka dialah yang
menggangguku. Tanganku juga bergerak-gerak lincah memencet-mencet keyboard.
Kusave file-file yang ada kaitannya dengan yang kuterima dialah makhluk
penggangguku.
Kubuka
lemari penyimpan majalah-majalah bekas. Kukeluarkan semua. Dengan rakus dan
tergesa-gesa seolah dikejar sesuatu. Kubuka tiap lembar-lembar majalah.
Kukliping bagian-bagian yang kurasa mendekati pembahasan dan informasi suatu
makhluk yang kucurigai dialah penggangguku.
Kubuka
Al-Quran agamaku, kutulis ayat-ayat yang sesuai dengan makhluk yang kucurigai
adalah makhluk penggangguku. Masih kukumpulkan juga beberapa variable yang
terkait dengan makhluk yang kucurigai dialah penggangguku, dari ensiklopedia,
karya-karya ilmiah, karya-karya fiksi baik cerpen, novel, puisi dan semuanya.
Semua kalimat yang sempat kucurigai dengan makhluk itu. Semua kata yang
kucurigai berkoalisi dengan makhluk yang meraung-raung dalam diriku. Sampai
pada lukisan atau simbol-simbol yang seolah ikut menertawakan kebingunganku.
Semuanya
telah kudapatkan. Semuanya telah kukumpulkan. Sekarang saatnya kuurai satu-satu
di atas lantai. Kuurai satu-satu. Kupisahkan dan kutata dengan rapi. Puisi
dengan puisi, novel dengan novel, cerpen dengan cerpen, artikel dengan artikel,
hasil penelitian dengan hasil penelitian yang lain, majalah dengan majalah,
lukisan dengan lukisan, dan begitu seterusnya sampai rapi.
Selanjutnya,
mataku harus jeli menangkap variable dan point-poin penting dari setiap yang
terurai di atasa lantai ini. Lantas mengkait-kaitkannya, sesuatu yang kudapat
dari novel dengan yang kutemukan dalam sajak, lukisan, artikel, ayat-ayat
Al-quran, dan semuanya yang sekarang sedang tercecer di atas lantai.
Mataku
menangkap majalah wayang, dan hatiku bergetar saat membacanya. Sebuah kalimat
sunyi dari seorang dalang:
Jodoh
itu nasib!
Cinta
itu takdir!
Tidak!
Ini jelas bertentangan dengan kepercayaan agama yang kupeluk!. Ini beroposisi
biner. Jodoh itu bukan nasib! Jodoh itu takdir yang sudah ditentukan dan
dipilihkan hingga tak ada satu pun manusia yang bisa menawar. Namun otakku tak
bisa dibohongi. Logikaku tak bisa kutipu meski oleh diriku sendiri. Cinta
itu takdir. Takdir. Ialah yang berada di balik kuasa manusia. Yah, benar.
Semuanya ini di balik kuasa dan keinginanku. Logika dan hatiku seolah bersekutu
menyerang ketidak percayaanku. Membunuh kesangsianku. Oh Allah,,,, tidak! Apa
ini maksudnya.
Tidak!
tidak mungkin. Entah bagian diriku yang mana yang masih saja menepisnya.
Kutinggalkan dua kalimat yang sanggup menyusup hati dan logikaku itu. Membalik
lembaran selanjutnya:
Cinta
itu seakan iman
Cinta
itu adalah iman
Iman?.
Kepercayaan? Adakah cinta itu kepercayaan?. Akh aku tak menemukan logika yang
cocok dengan kalimat ini. Kulentangkan tubuhku di lantai menatap langit-langit
kamar. Kedua tangankku kutekuk menyangga kepala. Aku berpikir dan mengeja lirih
"Cinta seakan iman, Cinta adalah iman". Mataku menyusuri
langit-langit kamarku yang putih bersih. Menyapu dinding kamar yang juga putih
bersih. Tepat pada dinding di depan aku berbaring, sebuah bingkai besar berisi
lukisan nama Allahku. Nama Allahku yang setiap kali kulihat dan setiap hari
kusebut meski mataku yang kasat ini tak pernah melihatnya. Ah… kalau sudah
percaya dan beriman tak perlu jua aku meragu. Meski seribu logika menyerbu
bagaimana bisa aku berargumentasi untuk pembelaan keimananku pada Allah. Yah,
meski sebenarnya jika memaksa aku bisa berargumentasi logis selogis-logisnya
dan mungkin mereka akan terpana mengiyakan. Yakh,,, meski aku sendiri tak
percaya keimanan bisa disandingkan utuh dengan logika. Simpel saja karena mana
mungkin aku bisa mengungkapkan sesuatu yang tak terungkapkan. Mengungkapkan
sesuatu yang berada diantara kata-kata dan kebisuan. Yang kasbi mengungkapkan
yang sejati.
Kubalikkan
badan berniat terpejam sebentar saja. Kututup kelopakku dan gelap mulai
menguasai. Masih terekam lukisan nama Allahku. Kelopakku tersentak dan
membelalak. Aku paham, apa yang dimaksud di balik kalimat di atas: Cinta
seakan iman, Cinta adalah iman. Kuurungkan niat terpejam dan dengan rakus
mataku kembali menelusuri yang tercecer di atas lantai ini. Sekarang, mataku
tersangkut pada sebuah sajak perempuan Sufi dalam salah satu agama:
Sulit menjelaskan hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang yang merasakan dan hanya
mengetahui
Bagaimana mungkin engkau dapat
menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai
hilang dari hadapan-Nya
Walau ujudmu masih ada
Karena hatimu gembira yang membuat
lidahmu kelu.
Belum
usai keterpanaanku mendapati suatu makna yang teramat dalam di balik sajak ini,
tiba-tiba muncul di antara kata-kata sajak ini sebuah titik putih yang semakin
membesar. Aku terkesiap bagaikan mimpi di siang bolong. Kucubiti diriku sendiri
untuk meyakinkan kalau ini nyata, bukan mimpi. Aku membelalak. Titik putih itu
semakin membesar dan memancarkan sinar sampai cahayanya menyapu penuh ke segala
penjuru kamarku. Mataku silau dan tubuhku terpelanting ke sisi ranjang. Gelap.
Dingin.
Kurasakan sesuatu yang begitu kecil tapi lembut menyentuh kelopak mataku yang
sedang terkatup. Masih kurasai kepalaku yang sedikit pening. Sesuatu yang
lembut dan dingin ini kembali mencolok-colok kelopak mataku, seperti
menyengaja. Kubuka mataku, penasaran. Oh!!!. Aku sangat terkejut melihat sosok
kecil di depan mukaku yang masih tergeletak di sisi ranjang. Kepalaku sampai kejedok
kaki ranjang karena keterjutanku yang sangat.
"K-k-kau
siapa?"
Sosok
manusia kecil ini tersenyum melihatku yang ketakutan dan gemetaran. Dia
perempuan kecil seukuran jari telunjuk orang dewasa. Mengenakan rok panjang,
baju panjang, dan jilbab panjang seperti teman-teman jilbaber di kampusku. Dia
tersenyum anggun tapi tak bisa mengurai rasa takutku. Kutanya lagi
"Katakan,
siapa kau?" darimana kau datang dan apa maumu?!"
Sekarang
dia duduk di lantai, menekuk lututnya dan mengalungkan kedua tangannya di depan
kaki. Dengan pelan, aku pun berusaha bangun dan duduk di depannya.
"Aku
dari sana", telunjukknya yang terlampau kecil mengarah pada sebuah buku
kumpulan puisi yang sudah terbuka. Buku tempat muasal cahaya tadi.
"Namaku
Rabi'ah Al-Adawiyah. Dan aku tidak mau apa-apa selain bertanya sesuatu
padamu"
Aku
terlongong-longong. "Maksudmu, Rabiah Adawiyah sufi perempuan yang berasal
dari Bashroh itu?". Makhluk kecil itu mengangguk dan mengerjapkan matanya.
"Apa
maksudmu ingin bertanya padaku?! Aku tidak mengerti".
Makhluk
kecil itu bangkit. Berjalan ke kanan dan ke kiri tepat di depanku duduk
bersila. Dia sungguh kecil. Jilbabnya melambai-lambai. Aneh, kenapa dia
mengenakan baju ala gelintir muslimah Indonesia, bukan galabe, jubah, atau pun
cadar. Pakaian yang dikenakan oleh perempuan zaman dulu di Bashroh. Seperti
mengetahui kepenasaranku dia berhenti mondar-mandir lantas menjawab sambil
mendongak. Dan aku semakin bingung plus takjub.
"Apa
salah kalau aku berpakaian seperti ini? Jangan sok tahu tentang kebenaran yang
belum kau ketahui dengan benar. Semua kebenaran di muka bumi ini hanya semu.
Mungkin kau akan lebih terkejut dan tidak terima semisal aku muncul di depanmu
dengan mengenakan celana." Lagi-lagi aku hanya ternganga. "Akh,
langsung saja. Itu tadi tidak penting. Ada yang lebih penting dari sekadar
membahas cover"
Aku
semakin saja tercengang. Di balik pakaiannya yang seperti itu, dia begitu
modern. Bahasa Indonesianya fasih. Siapa sebenarnya makhluk kecil di depanku
ini? Adakah dia benar-benar Robi'ah yang dipuja?
"Kalau
kau ragu dan tak percaya aku Rabi'ah atau bukan, itu hakmu. Yang penting adalah
kau harus menjawab pertanyaanku". Lagi-lagi aku terkejut atas jawabannya.
Dia tahu apa yang kubisikkan dalam hati. Dia kembali mondar-mandir seperti
berpikir sesuatu. Sedang aku mulai penasaran juga. Kiranya apa pertanyaan yang
harus kujawab itu sampai-sampai kekasih Allah ini bersedia menjumpaiku.
"Jawab
pertanyaanku dengan lugas", matanya menatap mataku, wajahnya yang bersinar
mulai serius.
"Kau
percaya Allah?"
"Tentu"
"Kenapa
kau percaya Allah?"
"Banyak
sekali alasannya" dia mengernyitkan dahi. "Ma'af, bukan itu maksudku.
Bukan pada alasannya. Yang terpenting adalah karena aku merasakan Allah itu
ada. Aku merasakan kehadirannya pada kehadiranku. Dan kehadirannya yang
kurasakan adalah penting. Aku merasakannya"
"Benar
karena itu?" matanya menyipit seolah memancing kebenaran. "Itu
saja?"
Dia
seolah menelanjangi hatiku yang dia tembus melewati kornea mataku. Aku menunduk
lemah. Menyembunyikan mataku dari tatapannya. Kumerasakan geletar yang kuat
bahwa dia tahu sekali yang aku rasakan. Aku menggeleng dan minta ma'af padanya.
Ada sesuatu yang masih belum bisa aku kalimatkan. Kepercayaanku padaNya tak
bisa terbahasakan. Maafkan aku.
"Kau
percaya cinta?", pertanyaannya yang tiba-tiba menyentak jiwaku. Lagi-lagi
dia melucuti rahasia yang terbungkus rapi. Aku mendongak kaget. Aku pernah
benci sekali mendengar kata itu disebut. Benci sekali. Mungkin sampai saat ini
hingga aku berusaha mencari-cari kebenaran. Oh mungkin tidak!, tepatnya aku
mencari-cari bantahan bahwa ia tak pernah menyergapku karena perasaan takut
diolok-oloknya. Khawatir diumpatnya. Mulutku langsung saja menjawab lirih meski
nada ketusnya tak bisa kusembunyikan.
"Tidak!"
"Kau
percaya cinta?", mengulang, seolah menyengaja.
"Tidak",
mulai melayu.
"Kau
merasakannya?"
Aku
tak bisa berkata. Keheningan hadir di antara kami. Aku membisu tapi tangisanku
yang menjawab. Jawaban sempurna. Tubuhku bergetar menahan tangis yang sudah
mulai membuncah.
"Laila,
itulah cinta. Jangan kau pungkiri. Ia juga tak bisa terbahasakan dan beralasan
seperti keimananmu. Semakin kau pungkiri, semakin nyatalah ia. Kau takkan
pernah bisa lari darinya. Bagaimana kau bisa lari dari takdir? Bagaimana kau
bisa lari dari Allah itu sendiri jika kau lebur di dalamnya?"
Kutelungkupkan
kedua tangan pada mukaku. Tangisku benar-benar pecah.
Dari
sela-sela tanganku yang menutup mukaku, cahaya terang menyala menyeruak dari
segala penjuru kamar, menyilaukan mataku yang dipenuhi air keegoan yang
memenara-gading. Cahaya itu berputar-putar dan tiba-tiba dengan begitu cepat
lenyap dalam keheningan. Kembali pada satu titik. Kumasih terpaku menyaksikan
semuanya, dengan wajah penuh air mata. Dan entah kekuatan dari mana seolah
menyelusup ke tubuhku. Makhluk kecil tadi turut lenyap bersama lenyapnya
cahaya.
Jari
telunjukku menegang dan menunjuk-nunjuk pada sebuah buku yang masih terbuka,
buku kumpulan puisi. Aku berteriak panjang:
"Tidak!
Ini bukan cinta!. Terbukti cinta sudah terbahasakan dalam syair-syairmu. Telah
terungkapkan. Kemaha-dahsyatan yang membelenggu jiwa dan sukmaku ini sangat
besar untuk sekedar disebut cinta. Cinta itu telah terpenjara dalam kata.
Sedang yang kurasa ini tak bisa dipenjarakan dengan kata yang paling agung
sekalipun.Yang Kau, hai Perempuan dari Bashroh menyebutnya cinta. Tidak! Ini
bukan cinta!.
Angin kencang bergulung-gulung di dalam kamar,
menerbangkan dan mengacaukan segala isinya. Karena teriakanku tak sekadar
teiakan suara. Tak sekedar jeritan yang lekang, ia adalah jeritan jiwa. Jeritan
sukma!
No comments:
Post a Comment